Tradisi Impor Bangsa Kita

Oleh : Satriagama Rakantaseta – Budayawan

Kebijakan importase berbagai macam produk kebutuhan masyarakat sering dicap sebagai biang dari ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara lain. Seringkali neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit karena nilai impor yang melebihi nilai ekspor. Ketika nilai impor melebihi nilai ekspor, bisa dipastikan bahwa nilai pemasukan negara akan lebih kecil dibandingkan dengan nilai pengeluaran belanjanya. Bisa dipastikan bahwa bila hal ini yang terjadi, pemerintah akan mengambil kebijakan untuk berhutang kepada pihak lain untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.

Surplus neraca perdagangan adalah sumber kemakmuran ekonomi masyarakat yang saat ini belum dapat diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Lantas, apa sebabnya? Tanpa disadari masyarakat, semakin kesini, sebagai sebuah bangsa yang selalu dibranding berbudaya dan bertradisi luhur ini, pada kenyataannya, bisa dikatakan kalah bersaing di dalam ruang kompetisi perkembangan budaya dan tradisi pada taraf internasional.

Kok bisa dikatakan begitu? Sadar nggak sih, kalau kita semua saat ini, sebetulnya sedang melestarikan budaya dan tradisi bangsa lain dengan asyiknya? Bagaimana tidak? Dari mulai tidur diatas springbed, menggunakan kipas angin, menyalakan lampu dan berkendara menggunakan mobil atau motor kok …

Memangnya hal-hal yang kita gunakan sehari-hari itu hasil karya budaya nenek moyang atau kita semua? Ya tentu saja bukan lah ya! Lagi-lagi kebanyakan dari kita selalu saja gagal paham akan pemahaman tentang apa itu budaya dan tradisi.

Sebagai sebuah contoh sederhana, bila kita perhatikan baik-baik, karya budaya dan tradisi nusantara, salah satunya akan hadir ketika ada pernikahan dengan cara menjalankan ritual adat serta mengenakan pakaian adat, terutama bagi kedua mempelai dan keluarga terdekat. Bisa adat Jawa, Minang, Batak, Toraja, Papua dan lain sebagainya.

Dan, bila kita telusuri lagi dengan lebih mendetail, dalam sebuah pesta pernikahan, baik di kota besar, kota kecil atau di pelosok-pelosok dusun, pastinya akan terdapat rangkaian peralatan pendukung acara pernikahan, seperti “sound system”, “genset”, “organ tunggal atau peralatan musik modern” dan lain-lain.

Hulu dari berbagai macam benda (contoh : telepon seluler) atau sistem (contoh : sistem komunikasi) yang kita gunakan sehari-hari adalah berbagai macam ilmu pengetahuan. Selanjutnya, hulu dari berbagai macam ilmu pengetahuan ini adalah filsafat.

Filsafat merupakan dasar dari sebuah proses panjang perjalanan budaya manusia, yang pada akhirnya, hasil pencarian berbagai macam hubungan antara manusia dan alam semesta tersebut menjadi berbagai macam benda atau sistem.

Dari penjelasan singkat di atas, mungkin, kita bisa membayangkan runutan langkah sebuah proses budaya yang panjang dan lama, sehingga pada akhirnya, di setiap acara pernikahan selalu terdapat sebuah sistem pengolah dan pengelola suara yang disebut dengan “sound system”, yang biasanya terdiri dari amplifier, equalizer, kabel power, kabel sound, stop kontak, mic wireless, speaker serta pasokan listrik swadaya dari genset atau saluran listrik PLN yang telah terpasang pada venue pernikahan.

Hari ini, dunia filsafat Indonesia begitu terpuruk. Dalam sistem pendidikan formal di Indonesia, hanya sedikit saja sekolah tinggi atau universitas yang menawarkan bidang studi filsafat. Beberapa universitas di Indonesia yang menawarkan jurusan filsafat antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Selain itu, beberapa Universitas Islam Negeri (UIN) juga memiliki program studi filsafat, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Ampel, Surabaya dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Materi pelajaran filsafat yang bantak diberikan adalah berbagai macam teori (impor) filsafat barat atau timur.

Dunia pendidikan Indonesia, menurut hemat kami, hanya menghasilkan ahli-ahli filsafat yang hafal di luar kepala berbagai macam teori filsafat yang lahir dari para filsuf kelas dunia. Definisi ahli filsafat itu sangat berbeda dengan definisi filsuf. Seorang ahli filsafat belum tentu seorang filsuf dan seorang filsuf beljm tentu mengenyam pendidikan dunia pendidikan formal di jurusan filsafat.

Ketika pada level hulu sebuah proses budaya hanya melakukan proses impor banyak teori barat dan timur, bukankah sangat wajar bila di level hilir kita pun pasti akan melakukan proses impor berbagai macam hal. Tidak mengherankan sebetulnya. Jadi, untuk mengurangi atau menghentikan proses impor besar-besaran setiap tahun, satu hal penting dan mendasar yang harus kita semua bangun kembali adalah ruang filsafat secara mandiri.

Ketika Bangsa Infonesia memiliki ruang filsafat yang cukup, maka kita akan mampu menciptakan berbagai macam hasil budaya (dalam bentuk alat atau sistem) yang sesuai dengan jati diri bangsa dan kontekstual dengan zaman, seperti proses budaya yang dilakukan oleh negara-negara yang sering kita impor produk-produknya.

Begitu nggeh ..
Salam budaya.

Lainnya